Warna Sari

Caru (Mecaru; Pecaruan; Tawur) merupakan salah satu dari upacara Butha Yadnya, yang disebutkan bahwa Caru (Mecaru; Tawur) ini adalah suatu upacara yadnya yang bertujuan untuk keharmonisan bhuwana agung dan bhuwana alit agar menjadi baik, indah, lestari.

Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Gama Tirta, agar terjadi keharmonisan.

Upacara pecaruan ada yang dilakukan dalam bentuk kecil sehari-hari, disebut Nitya Karma, sedangkan upacara pecaruan disaat tertentu (biasanya lebih besar) disebut Naimitika Karma.

Jenis-jenis Caru dan Tawur

Lontar Dewa Tattwa membedakan jenis-jenis Caru dan Tawur sebagai berikut:
  1. Yang diadakan bila ada kejadian tertentu misalnya: bencana, bencana alam, hama penyakit, gerhana matahari, huru-hara, perang, dll.
  2. Yang diadakan: sehari-hari, hari tertentu, sasih (bulan) tertentu, dan warsa (tahun) tertentu.
  3. Yang diadakan disuatu tempat: pekarangan, rumah, pura, sanggah, Banjar, Desa, seluruh pulau (Bali), seluruh dunia, danau, laut, hutan, gunung, dll.
  4. Mengikuti upacara pokok Panca Yadnya.
Dalam Lontar Dewa Tattwa dibedakan pula antara Caru dan Tawur.

Yang termasuk Caru : 
  • Eka Sata,
  • Segehan Panca / Manca Warna
  • Panca Sata, 
  • Panca Sanak, 
  • Panca nak-madurga, 
  • Ngeresigana. 
Yang termasuk Tawur: 
Semua beburon / hewan sebelum diupacarai dimandikan terlebih dahulu kemudian dikenakan kain menurut warna pengider disertai kalungan uang kepeng manut urip.

Alat-alat yang ikut diupacarai: blakas, golok, taledan, lumpyan, pane, lesung, tungku, talenan, payuk, ilih, siut, sendok, katikan sate, cubek. Juga disertai lakar base genep.

Penggunaan hewan dalam Caru dan Tawur (Lontar Sudamala dan Lontar Kala Tattwa)
  • Ayam manca warna, masing-masing untuk: putih – Bhuta Janggitan, biying – Bhuta Langkir, siungan – Bhuta Lembu Kania, hitam – Bhuta Taruna, brunbun – Bhuta Tiga Sakti
  • Ayam biying kuning, untuk Bhuta Jingga **)
  • Ayam ijo, untuk Bregala-Bregali, Bebai
  • Ayam Ijo, untuk  Bhuta Ijo ***)
  • Ayam klawu, untuk Bhuta Ireng ****)
  • Ayam wangkas, untuk Bhuta Lambukan *)
  • Angsa putih, untuk Korsika
  • Asu bang bungkem, untuk Bhuta Hulu Kuda
  • Banteng, untuk Bhuta Ijo ***)
  • Bawi palen,untuk Mahakala
  • Bebek belang kalung, untuk Panca Mahabhuta
  • Bebek bulu sikep, untuk Bhuta Lambukan *)
  • Godel, untuk: Gargha, Kapragan, Mrajapati.
  • Kambing coklat/kuning, untuk Maitri, Kamala-Kamali, Kala Sweta, Banaspati
  • Kambing coklat, untuk Bhuta Jingga **)
  • Kambing selem, untuk Kurusya, Bnaspati Raja
  • Kambing sewarna, untuk tapakan Bhatara Di Sanggar Tawang
  • Kebo yusmerana, untuk Bhuta Ireng ****)
  • Kidang, untuk Kalika-Kaliki, Yaksa-Yaksi, Dengen, Anggapati
  • Manjangan, untuk Bhuta Ijo ***)
  • Penyu (punggalan), sampelan kebo, sampelan kambing, untuk pelengkap catur niri
  • (Tanda bintang artinya ada Bhuta yang sama memerlukan beberapa binatang kurban untuk di-“somya”)

Olahan hewan (beburon) menurut Lontar Dharma Caruban
  • Kinelet melayang-layang: kepala, kaki, ekor, dan kulit utuh.
  • Winangun urip: letak hewan tertelungkup dan ada unsur-unsur tulang rusuk, tulang punggung, tulang kaki dan tulang ekor.
  • Urab/Reramesan barak dan putih: berisi daging, lidah, hati, lemak, kulit, darah (kalau reramesan barak) Getih matah: darah segar yang ditampung di sebuah kau ketika menyembelih hewan, diiisi lontar nama hewannya.
  • Sate (jejatah) lembat, asem, dan calon disebut Trinayaka sebagai persembahan tubuh hewan termaksud yang suci dengan aksara Ang – Ung – Mang.
  • Gayah: punggalan bawi, winangun urip, mejatah katikan senjata Dewata Nawa Sanga, ditambah mejatah katikan-katikan: bagia, orti, surya, candra, tunjung, cempaka, pidpid, sapudaki, konta, japit dumi, oret-oret, satuh, don, jerimpen, ancak, penyeneng, sandat, endongan, satuh, bingin.

Bahan-bahan Upakara dalam Pecaruan
(Lontar Sudamala)
Bahan-bahan upakara dalam pecaruan terdiri dari tiga jenis:
  • Mataya; bahan dari tumbuh-tumbuhan: daun, bunga, buah, pohon, biji-bijian, umbi-umbian, arak, tuak, berem.
  • Mantiga; hewan yang lahir dua kali (melalui telur): ayam, bebek, angsa, burung.
  • Maharya; hewan yang lahir satu kali (tidak melalui telur) dan berkaki empat: babi, sapi, kerbau, kambing, anjing.
Penempatan hewan caru mengacu pada kedudukan Panca Korsika dan Bhuta, disesuaikan dengan warna bulu hewan itu. Hal ini juga disebutkan dalam ephos Mahabharata, ketika Dewi Kunti hendak mengorbankan Sahadewa untuk “nyupat” Panca Korsika.


Makna simbol warna dalam Upacara Pecaruan (Lontar Dewa Tattwa)
Warna-warna: bulu hewan, kober, tumpeng, kelungah, dangsil, sanganan, nasi, beras, bunga, benang, dll mengikuti warna pengider:
  • Sweta (putih), 
  • Dumbra (merah muda), 
  • Rakta (merah), 
  • Rajata (oranye), 
  • Pita (kuning), 
  • Syama (hijau), 
  • Kresna (hitam), 
  • Biru (abu-abu), 
  • dan sarwa suwarna (campuran)

Warna-warna itu selain sebagai identitas Dewa-Dewa yang menjaga keseimbangan, juga sebagai simbol berbagai sifat yang ada dalam diri manusia:
  • Putih: suci; 
  • Merah-muda: kesucian yang ternoda oleh kemarahan; 
  • Merah : marah; 
  • Oranye: marah karena nafsu tak terpenuhi; 
  • Kuning: nafsu; 
  • Hijau: serakah; 
  • Hitam: iri-hati; 
  • Abu-abu: iri-hati yang terselubung.

Dari 9 warna yang ada, hanya 1 (warna putih) sebagai simbol sifat baik yang bisa dikalahkan oleh warna lain simbul keburukan.

Oleh karena itu warna putih dibanyakkan dengan tepung beras yang dirajah pada banten Rsi Gana.

Dengan demikian sifat-sifat buruk manusia diusahakan di-”somiya” melalui pecaruan sehingga Asuri Sampad (sifat keraksasaan) dapat berubah menjadi Daiwi Sampad  (sifat kedewataan)

Urip Wewaran pada caru dan tawur 
(Lontar Warigha Bhagawan Gargha)

Penggunaan urip / neptu pada caru dasarnya adalah panca wara, karena sesuai dengan mitologi panca korsika, yakni: :
  • Umanis urip 5 di timur, 
  • Paing urip 9 di selatan, 
  • Pon urip 7 di barat, 
  • Wage urip 4 di utara, 
  • dan Kliwon urip 8 di tengah. 
Jumlah urip panca wara = 33 juga sesuai dengan jumlah Dewa menurut Satha Pata Brahmana dimana para Dewa diyakini berperan menjaga keselamatan bhuwana agung.

Penggunaan urip pada tawur pada dasarnya membentuk padma bhuwana (lingkup bhuwana agung menurut pengider-ider) maka digunakan asta wara, dimana urip panca wara diatas ditambah dengan:
  • Guru urip 8 di tenggara, 
  • Rudra urip 3 di barat daya, 
  • Kala urip 1 di barat laut 
  • dan Sri urip 6 di timur laut. 
Jumlahnya = 18 dimana secara matematis total digit: 1 + 8 = 9 (jumlah pengider-ider dewata nawa sanggha)
Urip Wewaran tersebut digunakan dalam banten caru / tawur untuk antara lain jumlah :  tumpeng, reramesan, sate, tangkih, jinah, dll.
Referensi : Dokumen Forum Diskusi Jaringan Hindu Nusantara di Facebook (ref)  
                                               ***
                                WARNA WARNI

Kata Melukat adalah berasal dari bahasa jawa kuno yaitu lukat yang artinya bersih, melukat yang simpel bisa kita laksanakan pada mata air /aliran sungai di laut atau pertemuan laut dan sungai kalau di bali biasanya dekat pura segara atau di beji.

Menurut kepercayaan Hindu, Melasti bermakna menghilangkan kotoran diri dari jagat raya yang disimbolisasikan dengan labuhan sesaji atau upacara yadnya ke laut serta menyucikan arca, pratima, nyasa, pralingga sebagai wujud atau sthana Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manife

Nawa Widha Bhakti juga disebutkan adalah 9 jenis bhakti kepada Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari - hari sebagaimana yang disebutkan dalam serba serbi Hindu, Nawawidha Bhakti yang terdiri dari :

Úravaóa, mempelajari keagungan Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Es

Yadnya (Banten) Bagia Pula Kerti adalah lambang dari Bhatara Siwa (Ketuhanan; Lontar siwa sasana) sebagai Dewata Nawa Sanga yang diwujudkan dalam banten caru dan beliau dipuja pada,

puja Asta Mahabhaya,  Nawa Ratna, dan  pada kidung, beliau dipuja dengan kidung Aji Kembang.

Guru Piduka adalah upacara yadnya pakeling (atau; permohonan maaf) yang disebutkan dalam sumber kutipan upacara pengepah ayu, upakara Meguru Piduka dilaksanakan di Sanggah Kemulan, dengan tetandingan banten untuk guru piduka disebutkan :

Daksina Pejati,  Ketipat, Pras, dan runtutannya.

Tirtha (tirta) adalah air suci melalui doa, puja dan mantra weda oleh seorang pinandita atau sulinggih sebagaimana yang disebutkan dalam kutipan mewinten.

Bunga; kembang yang digunakan sebagai sarana sembahyang dan upacara yadnya disebutkan adalah lambang kesucian, sehingga diusahakan bunga seperti berikut :

Segar,  Bersih, dan  Harum,  sebagaimana dijelaskan dalam kutipan artikel kramaning sembah dalam parisada, ada beberapa bunga yang tidak baik un

Ista Dewata (Istadewata) adalah perwujudan Tuhan dalam berbagai-bagai wujud-Nya, sebagaimana yang dijelaskan dalam kutipan  kramaning sembah,  parisada Hindu Dharma Indonesia seperti

Brahma, pencipta Wisnu, pemelihara Iswara, pelebur Saraswati, ilmu pengetahuan Gana,  dan sebagainya.